Selasa, 25 Juni 2013

Menghadapi Isu SARA Dengan Logika Yang Rasional


Menghadapi Isu SARA Dengan Logika Yang Rasional
Oleh : Sagita Purnomo
Kalau dikatakan Indonesia sebagai negara yang memiliki keberagaman suku-suku terbanyak di dunia mungkin kita setuju. Seperti  pernyataan yang diumumkan secara resmi oleh Kepala BPS Rusman Heriawan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI  dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 di Indonesia  terdapat kurang lebih 1128 suku bangsa tersebar dari sabang sampai marauke. suku yang satu dengan suku lainya memiliki adat istihadat dan kebudayaan yang berbeda, menjadikan bangsa ini kaya akan keragaman budaya, hingga terkenal kepenjuru dunia. (jpnn.com) 
Selain itu juga ada lima agama berbeda yang dianut oleh masyarakat di negara urutan keempat penduduk terbanyak di dunia  ini. Hal ini menjadikan keberagaman yang sangat luar biaa yang dimiliki oleh bangsa kita. Untuk mempersatukan keberagaman bangsa ini menjadi satu bangsa yang utuh, makah dibuatlah semboyan yang dikenal dengan Bihneka Tunggal Ika yang memiliki makna ”Walaupun berbeda-beda tapi tetap satu jua”. Semboyan inilah yang mengikat kita dalam negara kesatuan republik indonesia (NKRI).
Namun saat ini banyak orang yang tidak menghargai Bihneka Tungggl Ika  sebagai salah satu dari pilar kehidupan bangsa. Banyak orang yang mencoba menghembuskan unsur unsur suku,agama,ras,dan antargolongan (SARA), Dalam momen-momen tertentu dengan tujuan untuk kepentingan golongan maupun dirinya sendiri.
SARA dan Pilkada DKI
Di tengah kebinekaan dan kemajemukan bangsa Indonesia isu SARA menjadi hal yang sangat sensitif. Isu SARA menjadi trending topic yang paling banyak dibicarakan dan menjadi topik utama terutama dalam pergelutan para politisi. Seperti yang terjadi pada Pilkada DKI.
Memang tidak dapat dipungkiri pasangan Calgub dan Cawagub Jokowi-Ahok mapu menempati urutan pertama dalam Pilkada DKI. Ajang Pemilihan Orang nomer satu DKI itu harus dilaksanakan dalam dua putaran dengan pasangan Foke-Nara, sebagai rival tunggal. Sebagaimana telah kita ketahui bersama yang menjadi yang dijadikan isu SARA di sini ialah sosok pria keturunan suku tinghoa yang memiliki nama lengkap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kelahiran Manggar, Belitung Timur, 46 tahun lalu.
Kita akan coba melirik dari segi hukum. Berdasarkan UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dianut suatu konsep baru tentang “Indonesia Asli”. sebagaimana dituangkan di dalam Penjelasan Pasal 2 UU No.12 Tahun 2006. “Orang Indonesia yang menjadi warga negara sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri”.
Jadi pembedaan “Indonesia asli” dan “Indonesia tidak asli” sekarang ini dasarnya bukan perbedaan ras, melainkan status kewarganegaraan yang diperoleh sejak lahir. Kemudian ketentuan Pasal 4 menegaskan bahwa anak yang dilahirkan di wilayah Negara Republik Indonesia dianggap Warga Negara Indonesia sekalipun status Kewarganegaraan orang tuanya tidak  jelas, hal ini berarti secara yuridis ketentuan ini oleh pembentuk Undang-undang dimaksudkan sedapat mungkin mencegah timbulnya keadaan tanpa kewarganegaraan dan memberi perlindungan terhadap segenap Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian penjabaran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 mengenai konsep bangsa Indonesia asli tidak didefinisikan berdasarkan etnis, melainkan berdasarkan pada hukum bahwa keaslian Warga Negara Indonesia ditentukan berdasarkan tempat kelahiran dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Jadi apa yang harus dipermasalahkan? dari segi hukum saja sudah menjelaskan dan membenarkan tentang status kewarganagaraan, namun kenapa isu SARA masih bisa berhenbus? Tidak hanya di kalangan masyarakat biasa, bahkan salah satu publik figur di negara ini yang terkenal dengan julukan “Raja Dangdut” dalan ceramahnya di salah satu masjid sempat melontarkan stegment yang cukup kontroversial. Dimana ia  mengimbau para jamaah di lingkuan intern untuk memilih pemimpin yang seiman. “Islam itu agama yang sempurna, memilih pemimpin bukan hanya soal politik, melainkan juga ibadah. Pilihlah yang seiman dengan mayoritas masyarakat Jakarta,” ujarnya.
Perpecahan Kerukunan
SARA merupakan hal yang sangat sensitif, apabila terus berkobar dapat memicu perpecahan kerukunan antar umat beragama seperti yang dikatakan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Ahmad Syafi'i Mufid mengatakan isu SARA yang tengah merebak menjelang Pilkada DKI Jakarta putaran kedua, mengancam kerukunan antar umat beragama di wilayah ibu kota."Akhir-akhir ini, hari-hari di Jakarta selalu diwarnai oleh berbagai macam pesan singkat yang bersifat black campaign atau negative campaign,"
Menurut Syafi'i, ayat-ayat suci Al-quran tidak diperuntukkan sebagai senjata demi menjatuhkan salah satu pasangan kandidat cagub-cawagub. "Ajaran agama itu sesungguhnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, semua ayat suci tidak boleh digunakan untuk menjelek-jelekkan atau menjatuhkan satu sama lain," (republikaonline)
Penggunaan Rasional
Persoalan SARA sendiri bukanlah masalah bila menilai suku, agama, dan ras dapat dibiarkan terbuka, saling tahu dan saling bergaul tanpa beban agar praktik persatuan di masyarakat menjadi alamiah. Jangan biarkan dirikita termakan dengan isu SARA, bersikaplah sebagai manusia yang hidup dizaman modren jangan berfikir dengan polafikir yang ortodok.
Sekarang masyarakat  sudah sangat heterogen dan tingkat pendidikan yang sudah baik tentunya tidak mudah terpengaruh denagn isu SARA yang negatif. Masyarakat modern dan berpendidikan tinggi juga akan menggunakan rasionalitasnya. Masyarakat yang berpendidikan dan bermoral pasti tidak akan mempermasalahkan isu SARA dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kehidupan masyarakat yang rasional yang menjadi pertimbangan utama adalah misi, visi, kompetensi, kapabiltas dan kualitas calon pemimpin. Rasionalitas pertimbangan SARA akan semakin ditinggalkan dan semakin tidak mendapat tempat dalam masyarakat modern.
Apapun isu SARA yang beredar dalam masyarakat bila sebagian besar masyarakat menggunakan rasionalitasnya maka isu tersebut tidak akan berarti. Buktinya meski dengan merebaknya isu SARA di kampanye putaran pertama tetap saja Jokowi dan Ahok memenangi putaran awal pilkada.
Tetapi bagi kelompok lain seperti masyarakat tradisional, kelompok tertentu yang sangat taat kepada budaya, agama dan aliran tertentu maka isu SARA tidak bisa dipisahkan. Kelompok ini rasionalitasnya tidak bisa dipisahkan dengan kultural budaya dan agama.
Sebenarnya bila dipikirkan dengan rasionalilas modern isu SARA tidak harus ditakuti. Justru dengan isu SARA itu bila bergaung dalam kelompok tertentu maka kelompok lainnya harus menghormatinya sebagai hak  mereka.
Hal ini bila dilakukan akan menjadi pelajaran demokratis yang sangat indah. Yang harus dilawan bersama adalah isu SARA negatif yang memecah belah bangsa. Pilkada DKI Jakarta tahun ini adalah pelajaran berharga bagi masyarakat yang moderat, rasional dan cerdas dalam berdemokrasi.
Sebagai masyarakat yang hidup di rumpun bangsa yang heterogen, hendaknya kita dapt dengan bijak menyikapi persoalan ini. Jangan terlalu muda termakan oleh isi-isu yang di hembuskan oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab. Karna tuhan yang maha esa telah menciptakan manusia di muka bumi dengan berbagai perbedaanya, perbedaan warna kulit, perbedaan warna rambut, berbeda bahasa,jenis kelamin, letak geografis, serta perbedaan kepercayaan. Sesungguhnya tuhan menciptakan perbedaan ini agar kita saling mengenal satu sama lainya, perbedaan ini diciptakan sebagai pemersatu untuk hidup berdampingan sebagai manusia, bukan untuk saling menjelek-jelekan, atau mengutamakan kepentingan golongan kelompoknya saja. Jangan sampai diri kita kita menjadi serigala bagi manusia lain “homo homoni lupus.***
Penulis adalah mahasiswa fakultas hukum UMSU, dan aktif di pers mahasiswa TEROPONG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar