Menghadapi Isu SARA Dengan Logika Yang
Rasional
Oleh
: Sagita Purnomo
Kalau
dikatakan Indonesia sebagai negara yang memiliki keberagaman suku-suku
terbanyak di dunia mungkin kita setuju. Seperti
pernyataan yang diumumkan secara resmi oleh Kepala BPS Rusman Heriawan
dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun
2010 di Indonesia terdapat kurang lebih
1128 suku bangsa tersebar dari sabang sampai marauke. suku yang satu dengan
suku lainya memiliki adat istihadat dan kebudayaan yang berbeda, menjadikan
bangsa ini kaya akan keragaman budaya, hingga terkenal kepenjuru dunia. (jpnn.com)
Selain
itu juga ada lima agama berbeda yang dianut oleh masyarakat di negara urutan
keempat penduduk terbanyak di dunia ini.
Hal ini menjadikan keberagaman yang sangat luar biaa yang dimiliki oleh bangsa
kita. Untuk mempersatukan keberagaman bangsa ini menjadi satu bangsa yang utuh,
makah dibuatlah semboyan yang dikenal dengan Bihneka Tunggal Ika yang memiliki makna ”Walaupun berbeda-beda tapi
tetap satu jua”. Semboyan inilah yang mengikat kita dalam negara kesatuan
republik indonesia (NKRI).
Namun
saat ini banyak orang yang tidak menghargai Bihneka
Tungggl Ika sebagai salah satu dari
pilar kehidupan bangsa. Banyak orang yang mencoba menghembuskan unsur unsur
suku,agama,ras,dan antargolongan (SARA), Dalam momen-momen tertentu dengan
tujuan untuk kepentingan golongan maupun dirinya sendiri.
SARA dan Pilkada DKI
Di
tengah kebinekaan dan kemajemukan bangsa Indonesia isu SARA menjadi hal yang
sangat sensitif. Isu SARA menjadi trending topic yang paling banyak dibicarakan
dan menjadi topik utama terutama dalam pergelutan para politisi. Seperti yang
terjadi pada Pilkada DKI.
Memang
tidak dapat dipungkiri pasangan Calgub dan Cawagub Jokowi-Ahok mapu menempati
urutan pertama dalam Pilkada DKI. Ajang Pemilihan Orang nomer satu DKI itu
harus dilaksanakan dalam dua putaran dengan pasangan Foke-Nara, sebagai rival
tunggal. Sebagaimana telah kita ketahui bersama yang menjadi yang dijadikan isu
SARA di sini ialah sosok pria keturunan suku tinghoa yang memiliki nama lengkap
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kelahiran Manggar, Belitung Timur, 46 tahun lalu.
Kita
akan coba melirik dari segi hukum. Berdasarkan UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dianut
suatu konsep baru tentang “Indonesia Asli”. sebagaimana dituangkan di dalam
Penjelasan Pasal 2 UU No.12 Tahun 2006. “Orang Indonesia yang menjadi warga
negara sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas
kehendaknya sendiri”.
Jadi
pembedaan “Indonesia asli” dan “Indonesia tidak asli” sekarang ini dasarnya
bukan perbedaan ras, melainkan status kewarganegaraan yang diperoleh sejak
lahir. Kemudian ketentuan Pasal 4 menegaskan bahwa anak yang dilahirkan di
wilayah Negara Republik Indonesia dianggap Warga Negara Indonesia sekalipun
status Kewarganegaraan orang tuanya tidak
jelas, hal ini berarti secara yuridis ketentuan ini oleh pembentuk
Undang-undang dimaksudkan sedapat mungkin mencegah timbulnya keadaan tanpa
kewarganegaraan dan memberi perlindungan terhadap segenap Warga Negara
Indonesia.
Dengan
demikian penjabaran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 mengenai konsep bangsa
Indonesia asli tidak didefinisikan berdasarkan etnis, melainkan berdasarkan
pada hukum bahwa keaslian Warga Negara Indonesia ditentukan berdasarkan tempat
kelahiran dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Jadi
apa yang harus dipermasalahkan? dari segi hukum saja sudah menjelaskan dan
membenarkan tentang status kewarganagaraan, namun kenapa isu SARA masih bisa
berhenbus? Tidak hanya di kalangan masyarakat biasa, bahkan salah satu publik
figur di negara ini yang terkenal dengan julukan “Raja Dangdut” dalan
ceramahnya di salah satu masjid sempat melontarkan stegment yang cukup kontroversial.
Dimana ia mengimbau para jamaah di
lingkuan intern untuk memilih pemimpin yang seiman. “Islam itu agama yang
sempurna, memilih pemimpin bukan hanya soal politik, melainkan juga ibadah.
Pilihlah yang seiman dengan mayoritas masyarakat Jakarta,” ujarnya.
Perpecahan Kerukunan
SARA
merupakan hal yang sangat sensitif, apabila terus berkobar dapat memicu
perpecahan kerukunan antar umat beragama seperti yang dikatakan Ketua Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Ahmad Syafi'i Mufid mengatakan isu SARA yang
tengah merebak menjelang Pilkada DKI Jakarta putaran kedua, mengancam kerukunan
antar umat beragama di wilayah ibu kota."Akhir-akhir ini, hari-hari di
Jakarta selalu diwarnai oleh berbagai macam pesan singkat yang bersifat black
campaign atau negative campaign,"
Menurut
Syafi'i, ayat-ayat suci Al-quran tidak diperuntukkan sebagai senjata demi
menjatuhkan salah satu pasangan kandidat cagub-cawagub. "Ajaran agama itu
sesungguhnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu,
semua ayat suci tidak boleh digunakan untuk menjelek-jelekkan atau menjatuhkan
satu sama lain," (republikaonline)
Penggunaan Rasional
Persoalan
SARA sendiri bukanlah masalah bila menilai suku, agama, dan ras dapat dibiarkan
terbuka, saling tahu dan saling bergaul tanpa beban agar praktik persatuan di
masyarakat menjadi alamiah. Jangan biarkan dirikita termakan dengan isu SARA,
bersikaplah sebagai manusia yang hidup dizaman modren jangan berfikir dengan
polafikir yang ortodok.
Sekarang
masyarakat sudah sangat heterogen dan
tingkat pendidikan yang sudah baik tentunya tidak mudah terpengaruh denagn isu
SARA yang negatif. Masyarakat modern dan berpendidikan tinggi juga akan
menggunakan rasionalitasnya. Masyarakat yang berpendidikan dan bermoral pasti
tidak akan mempermasalahkan isu SARA dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
kehidupan masyarakat yang rasional yang menjadi pertimbangan utama adalah misi,
visi, kompetensi, kapabiltas dan kualitas calon pemimpin. Rasionalitas
pertimbangan SARA akan semakin ditinggalkan dan semakin tidak mendapat tempat
dalam masyarakat modern.
Apapun
isu SARA yang beredar dalam masyarakat bila sebagian besar masyarakat
menggunakan rasionalitasnya maka isu tersebut tidak akan berarti. Buktinya
meski dengan merebaknya isu SARA di kampanye putaran pertama tetap saja Jokowi
dan Ahok memenangi putaran awal pilkada.
Tetapi
bagi kelompok lain seperti masyarakat tradisional, kelompok tertentu yang
sangat taat kepada budaya, agama dan aliran tertentu maka isu SARA tidak bisa
dipisahkan. Kelompok ini rasionalitasnya tidak bisa dipisahkan dengan kultural
budaya dan agama.
Sebenarnya
bila dipikirkan dengan rasionalilas modern isu SARA tidak harus ditakuti.
Justru dengan isu SARA itu bila bergaung dalam kelompok tertentu maka kelompok
lainnya harus menghormatinya sebagai hak
mereka.
Hal
ini bila dilakukan akan menjadi pelajaran demokratis yang sangat indah. Yang
harus dilawan bersama adalah isu SARA negatif yang memecah belah bangsa.
Pilkada DKI Jakarta tahun ini adalah pelajaran berharga bagi masyarakat yang
moderat, rasional dan cerdas dalam berdemokrasi.
Sebagai
masyarakat yang hidup di rumpun bangsa yang heterogen, hendaknya kita dapt
dengan bijak menyikapi persoalan ini. Jangan terlalu muda termakan oleh isi-isu
yang di hembuskan oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab. Karna tuhan
yang maha esa telah menciptakan manusia di muka bumi dengan berbagai
perbedaanya, perbedaan warna kulit, perbedaan warna rambut, berbeda
bahasa,jenis kelamin, letak geografis, serta perbedaan kepercayaan. Sesungguhnya
tuhan menciptakan perbedaan ini agar kita saling mengenal satu sama lainya,
perbedaan ini diciptakan sebagai pemersatu untuk hidup berdampingan sebagai
manusia, bukan untuk saling menjelek-jelekan, atau mengutamakan kepentingan
golongan kelompoknya saja. Jangan sampai diri kita kita menjadi serigala bagi
manusia lain “homo homoni lupus”.***
Penulis
adalah mahasiswa fakultas hukum UMSU, dan aktif di pers mahasiswa TEROPONG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar