Sabtu, 19 Juli 2014

Memilih (Pemimpin) Berdasarkan Pancasila

Tahun 2014 yang dikenal sebagai tahun politik ini memang begitu terasa panas dan bergairah, tepatnya dimulai sejak bulan April lalu saat rakyat Indonesia dicekoki dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) untuk memilih para wakil yang akan duduk di Senayan dan kantor daerah-daerah selama lima tahun ke depan. Banyak pihak yang bersuka cita menyambut gembira hasil positif yang diterima, namun tak sedikit pula pihak yang menangis, meratapi kekalahannya hingga berujung tragis menjadi Caleg gila.
Berdasarkan data resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) partisipasi masyarakat Indonesia yang menggunakan hak pilihya dalam Pileg 2014 lalu mencapai 75,11 persen dari tota keseluruhan 150 juta jiwa Daftar Pemilih Tetap (DPT). Selain itu, kita juga sudah tau sama atau bahwa partai PDIP merupakan partai pemenang secara de jure dalam Pileg dengan perolehan suara tertinggi (18,95 persen) di susul Golkar (14,54 persen) dan Gerindra (11,86 persen). Namun taukah kita bahwa pemenag sesungguhnya pada Pileg 2014 secara de facto ialah “Partai” Golput dengan jumlah perolehan suara sebesar 24,89 persen. Ternyata semakin banyak rakyat Indonesia yang melek dan sadar untuk tidak turut serta dalam pembodohan masal lima tahunan ini.
Semakin Sadar
Sejenak kita lupakan dulu flasback mengenai Pileg 2014, mari kita meratapi kembali apa yang akan terjadi pada Pilpres 9 Juli nanti. Pertarungan antara pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK juga turut serta diiringi dengan pertarungan dua medaia elektronik terbesar di Indonesia yaitu TV One vs Metro TV yang menjagokan masing-masing kandidat. Kampanye hitam merupakan hal yang paling ramai menyerbu kedua belah kubu. Ada saja trending topik untuk mengulik kelemahan masing-masing kandidat, seperti isu keberpihakan asing dan capres boneka yang menerpa Jokowi, persoalan ibu negara, pengurus kuda yang baik dan kasus pelanggaran HAM di kubu Prabowo. Semua itu menjadi bumbu-bumbu penyedap setiap harinya di wajah televisi kita.
Dengan maraknya kampanye hitam yang menciderai elektabilitas serta integritas masing-masing kandidat, akan berpengaruh kepada tingkat partisipasi masyarakat Indonesia dalam menggunakan hak pilihnya nanti. Diprediksi angka golput akan semakin meningkat pada Pilpres 9 Juli nanti. Rakyat Indonesia setiap harinya disuguhkan dengan pembodohan-pembodohan, visi-misi janji umbar janji manis serta upaya para kandidat untuk salaing menjatuhkan lawan politik dengan memamfaatkan media yang mendukungnya. Sebagian besar masyarakat yang telah sadar akan busuknya geliat politik negeri, sudah paham betul akan modus seperti ini.
Berdasarkan catatan sejarah Pemilu di Indonesia, angka golput terus merangkak tinggi. Bayangkan saja, angka golput pada Pemilu 1999 mencapai 10,21 persen. Pada pileg 2004, angkanya naik menjadi 23,34 persen dan pada pemilu legislatif 2009 naik lagi menjadi 29,01 persen. Ada sejumlah faktor penyebab tingginya angka golput. Pertama, persoalan administratif di mana seseorang tidak terdaftar sebagai DPT sehingga ia tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Kedua, alasan teknis, seperti tidak ada waktu  dan kesempatan untuk mencoblos karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Serta yang terakir semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat bahwa Pemilu lebih banyak memberikan dampak negatif dari pada positif.
Selama Pemilu berlangsung sangat marak terjadi pelanggaran, kerusuhan, money politik, kecurangan, pelanggaran, serangan fajar serta perbuatan tidak terpuji lainya. Rasa kekecewaan masyarakat semakin bertambah terkala calon yang dipilih saat Pemilu, justru menjadi tersangka korupsi dan terjerat persoalan hukum lainya. Inilah para elit politik yang dihasilkan dari pasta demokrasi yang menghabiskan dana Rp 24 Triliun lebih. Pemilu merupakan kegiatan pemborosan uang negara yang bersifat mubazir dan sia-sia belaka. Bayangkan saja, apabila dana sebesar Rp 24 Triliun digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting dan mendesak, maka akan menghasilkan sesuatu yang lebih bermamfaat.
Misalkan dana Rp 24 Trilun dapat digunakan untuk membiayai studi S1 seluruh mahasiswa di Indonesai yang tidak mampu selama empat tahun (sampai selesai). Atau dengan dana ini dapat membangun sarana prasarana dan inrastruktur di Papua bisa mendekati megahnya Jakarta. Membangun jalan tol dari ujung Aceh sampai ujung Lampung. Membangun jembatan penyebrangan di Selat Sunda dan selat Banten. Dana Rp 24 Triliun juga bisa digunakan untuk membangun ribuan sekolah layak huni, atau ratusan universitas hingga ke pelosok daerah. Hal ini pasti justru lebih bermamfaat ketimbang mengalokasikan uang rakyat hanya untuk memenuhi hasrat dan kepentingan golongan manusia licik, bagaundal, haus akan kekuasaan yang berkumpul dalam Parpol.
Kembali Ke Pancasila
Seyogianya dalam memilih pemimpin bangsa kita dapat mengadopsi dan menerapkan asas yang ada dalam Pancasila yaitu “Musyawarah untuk mufakat” tertuang dalam sila ke empat yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Pasal ini memiliki makna bahwa bangsa Indonesia dipimpin oleh seorang Hikmat (Pemimpin) yang bijaksana yang dipilih melalui proses musyawarah dari perwakilan rakyat, bukanya memilih pemimpin berdasarkan suara terbanyak yang sangat mungkin terjadi manipulasi maupun kecurangan Memilih pemimpin yang mencalonkan dirinya dan meminta untuk dipilih, padahal dirinya tidak memenuhi sebagai kreteria layak pemimpin bangsa.
Dalam Pancasila sangatlah jelas menyebutkan bahwa pemimpin ditunjuk secara aklamasi melalui proses musyawarah mufakat panjang. Bukan melalui mekanisme pemilihan secara langsung yang sarat akan kecurangan serta pembodohan seperti Pemilu ini. Sebagai bentuk perbandingan, Presiden pertama Indonesia, Soekarno ditunjuk secara aklamasi dalam musyawarah oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Lihatlah hasil dari metode ini, menghasilkan pemimpin dengan jasa dan sepak terjang, gebrakan yang selalu dikagumi, dipuja layaknya dewa hingga sekarang.
Bandingkan dengan pemimpin yang dipilih secara langsung melalui Pemilu yang katanya sebagai perwujutan demokrasi seperti rezim SBY dkk, maka terpilihlah para manusia cacat mental tak bermoral untuk memimpin bangsa ini. Secara kualitas mereka belum layak menjadi wakil rakyat maupun pemimpin, tapi karena memiliki uang banyak, kekuasaan, relasi, serta senjata dalam bentuk Parpol yang rela mengorbankan kepentingan bangsa demi kepentingan pribadi, mereka bisa melakukan segalanya.
Partai politik hanya akan merubah manusia menjadi binatang, ya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Ustad atau Kiayi bisa berubah menjadi iblis ketika terlibat di dalam Parpol. Parpol merupakan organisasi/wadah yang menjadi prioritas utama para manusia yang berkecimpung di dalamnya, bahkan mereka tak segan untuk menyampingkan kepentingan bangsa dan negara atas nama Parpol. Oleh karena itu, jika sistem yang kita adopsi masih salah seperti ini, jangan harap akan muncul sosok pemimpin yang mampu membawa bangsa Indonesia keluar  dari lembah kenistaan.
Sistem Pemilu, Parpol hanya akan mengubah manusia menjadi binatang yang selalu berebut kuasa. Apabila kiata bangsa Indonesia menginginkan perubahan positf untuk menjadi bangsa yang lebih baik, mari kita amandeman UUD 1945 terutama Pasal 2, 6A, 22E untuk menghapuskan sistem Pemilu dan Parpol serta kembali kepada ideologi negara kita yaitu Pancasila dengan prinsip musyawarah mufakat yang sudah teruji dapat menghasilkan pemimpin berkualitas layak memimpin negeri. Selama Parpol dan Pemilu masih ada di republik ini, jangan pernah berharap akan kehidupan bangsa yang lebih baik, kecuali dalam mimpi.***

Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir fakultas Hukum UMSU