Pesawat Terbang diIndonesai Rawan Jatuh
Oleh: Sagita Purnomo
Efisiensi waktu, biaya yang
tejangkau, serta tingkat kenyamanan lebih, dan karena indoneesia adalah negara
kepulauwan dimana pulau yang satu dengan pulau yang lainya terpisahkan oleh lautan
dengan jarak yang relatif jauh, menjadi faktor tingginya antusias masyarakat terhadap
mode transportasi udara. Degan peluang ini, menjadikan maskapai penerbangan
berlomba lomba dalam bersaing. Mulai dari meningkatkan mutu pelayanan, sampai
membuat promo tilket dengan harga yang murah untuk menarik perhatian konsumen.
Namun sayang antusias
massyarakat yang tinggi terhadap mode transportasi udara tidak di imbangi
dengan peningkatan standar keselamatan oleh para maskapai pengelolah, hal ini
terlihat dari tingginya angka kecelakaan pesawat rerbang, berdasarkan data dari
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menunjukkan, sepanjang
tahun 2011, sedikitnya
terdapat 30 kecelakaan pesawat di Indonesia.
Tingginya angka kecelakaan
pesawat ini disebabkan oleh beberapa faktor mulai dari faktor internal pesawat
seperti usia pesawat dan mesin pesawat yang sudah tua, gangguan pada sistem
elektronik dan transmisi. Selain faktor internal faktor alam seperti hijan,
cuaca buruk/angin kencang, petir, dan gunung/bukit juga kerap memicu terjadinya kecelakaan.
Nah
selain kedua fakor yang telah disebutkan diatas kesalahan manusia atau human error merupakan yang paling dominan.Kesalahan manusia diketahui
sebagai faktor utama penyebab kecelakaan pesawat. Hal itu berdasarkan evaluasi
yang dilakukan Asosiasi Psikologi Penerbangan (APP) kepada lebih dari 300 kecelakaan pesawat.
Hasilnya, sekitar 80-90 persen kecelakaan karena human error.
"Terdapat
banyak faktor yang menyebabkan kecelakaan pesawat, namun manusia, khususnya
kelelahan dari seorang awak pesawat adalah penyebab yang dominan," kata
psikolog Asosiasi Psikologi Penerbangan Widura Imam Mustopo dalam diskusi Human
Factor in Aviation di Jakarta, Selasa (5/6) lalu.(www.republika.co.id
Kamis 22-juli 2012)
Berdasarkan
penelitian A. Cassie yang dipublikasikan berjudul 'Aviation
Psychology: Studies on Accident Liability, Proficiency Criteria and Personnel
Selection', yang menunjukkan hubungan antara kecelakaan pesawat dengan
situasi kelelahan seperti jam kerja yang panjang dan istirahat yang kurang
memadai.
Kelelahan
ini dapat menyebabkan menyempitnya rentang perhatian, hal ini menyebabkan
penerbang cenderung untuk memusatkan pandangan pada hal-hal yang membuat dia
khawatir dibanding dengan aspek yang sebetulnya lebih penting.
Perawatan dan Usia Pesawat
Masih segar teingat dibenak
kita peristiwa keecelakaan pesawat Shukoi Super Jet 100 di gunung salak bogor
jawa barat pada awal mei lalu, kejadian naas itu memewaskan sekitar 45 orang
penumpangnya, dan beberapa hari lalu peristiwa yang sama kembali terulang kali
ini pesawat Fokker 27 milik TNI AU jatuh di permungkiman warga sekitar bandara Halim Perdana
Kusuma yang memelan 10 orang korban jiwa, yang terdiri
dari masyarakat sipil dan awak pesawat.
Sudah bukan rahasia lagi, pesawat komersial
yang dimiliki maskapai penerbangan nasional, sebagian besar adalah
pesawat-pesawat berusia tua di atas 20 tahunan. Mereka membeli atau menyewa
pesawat-pesawat yang sudah tak digunakan oleh maskapai penerbangan asing karena
harganya relatif murah.
Pada tahun lalu standar
organisasi penerbangan sipil internasional mengenai ketentuan kelaikan udara (Annex
8) pemeriksaan terhadap
200-an pesawat yang dioperasikan sekitar
72 maskapai penerbangan nasional, sekitar 50% dari jumlah pesawat
itu dikategorikan tidak layak terbang. Ketidak layakan
pesawat di indonesia pada umumnya terdapat pada ketidak layakan pada onderdil yang digunakan pada mesin serta, usia pesawat
yang sudah tua.
mengganti komponen satu pesawat dengan
mengambil komponen dari pesawat yang lain, lalu menjadi hal biasa bahkan rutin.
Misalnya, jika sebuah pesawat yang hendak terbang mengalami kerusakan pada
sebuah komponen, maka komponen itu akan dicopot dari pesawat lain yang
kebetulan sedang tidak terbang. Setelah pesawat itu kembali, komponen itu akan
dicopot kembali, dan dikembalikan kepada pesawat semula, ini lah yang terjadi pada pesawat Fokke
27 milik TNI AU .
Soal ketentuan usia pesawat yang
dianggap layak atau tak layak terbang ini, sampai saat ini memang belum ada
ketentuannya. Selama memenuhi sertifikasi kelayakan udara, pesawat jenis apa
pun, berusia berapa pun tetap boleh beroperasi.
Yang menjadi masalah ialah,
rata-rata pesawat yang dioperasikan oleh maskapai penerbangan domestik, usianya
telah berumur sekitar 20 tahun, atau lebih. Usia itu setara dengan 30 ribu
hingga 50 ribu kali terbang dan sangat berbahaya bagi keselamatan penerbangan.
Maka bisa dibayangkan, berapa puluh ribu kali penerbangan yang sudah ditempuh
pesawat Boeing yang disewa atau dimiliki oleh banyak maskapai nasional.
Pada umumnya pesawat yang sudah
melampaui 50 ribu kali penerbangan, pesawat tersebut harus menjalani modifikasi
khusus dan perawatan setiap dua hingga empat ribu kali penerbangan. Semuanya
harus dicek dan tentu membutuhkan biaya yang cukup besar. pengecekan ideal
biasanya menggunakan “block system”, yakni perawatan seluruh armada pesawat.
Di negara-negara lain seperti Singapura,
Australia dan Malaysia, syarat kelaikan operasi pesawat lebih ketat. Di samping
menggunakan Annex 8 mengenai standar kelaikan udara, negara-negara itu juga
menerapkan Annex 16 mengenai ambang batas suara dan emisi gas buang yang
diperbolehkan. Indonesia hingga saat ini belum memasukkan Annex 16 dalam
standar kelaikan udara bagi pesawat yang dioperasikan.
Satu hal penting lain menurut
Federasi Pilot Indonesia yang juga sering diabaikan maskapai domestik, yaitu
menyangkut jam terbang seorang pilot. Ukuran ideal, seorang pilot dalam sebulan
paling banyak terbang selama 110 jam, atau 1.100 jam dalam setahun.
Seharusnya, maskapai penerbangan
mengikuti standardisasi penerbangan itu. Karena jika melebihi jam terbang
ideal, seorang pilot sebenarnya tidak boleh terbang. Sayangnya banyak sekali
manajemen maskapai penerbangan yang tidak terbuka soal ini dan tidak mempunyai
standardisasi keselamatan kerja.
Sebagai pengguna jasa
penerbangan kita mesti cerdas dalam bertindak, jangan terlalu terpengaruh
dengan iming-iming tiket murah, pilihlah maskapai yang sudah mendapat kelayakan
uju terbang yang bersertifikat nasional dan internasional, jangan sampai hanya
karna ingin terbang dengan harga murah berujung pada hal-hal yang tidak
diinginkan atau sampai menjadi penerbangan terakhir kita.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum UMSU, dan aktif di Pers
Masasiswa TEROPONG
artikel ini telah di muat di Harian Analisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar