Minggu, 03 Maret 2013

Pesawat Terbang diIndonesai Rawan Jatuh


Pesawat Terbang diIndonesai Rawan Jatuh
Oleh: Sagita Purnomo
Efisiensi waktu, biaya yang tejangkau, serta tingkat kenyamanan lebih, dan karena indoneesia adalah negara kepulauwan dimana pulau yang satu dengan pulau yang lainya terpisahkan oleh lautan dengan jarak yang relatif jauh, menjadi faktor tingginya antusias masyarakat terhadap mode transportasi udara. Degan peluang ini, menjadikan maskapai penerbangan berlomba lomba dalam bersaing. Mulai dari meningkatkan mutu pelayanan, sampai membuat promo tilket dengan harga yang murah untuk menarik perhatian konsumen.
Namun sayang antusias massyarakat yang tinggi terhadap mode transportasi udara tidak di imbangi dengan peningkatan standar keselamatan oleh para maskapai pengelolah, hal ini terlihat dari tingginya angka kecelakaan pesawat rerbang, berdasarkan data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menunjukkan, sepanjang tahun 2011, sedikitnya terdapat 30 kecelakaan pesawat di Indonesia.
Tingginya angka kecelakaan pesawat ini disebabkan oleh beberapa faktor mulai dari faktor internal pesawat seperti usia pesawat dan mesin pesawat yang sudah tua, gangguan pada sistem elektronik dan transmisi. Selain faktor internal faktor alam seperti hijan, cuaca buruk/angin kencang, petir, dan gunung/bukit  juga kerap memicu terjadinya kecelakaan.
Nah selain kedua fakor yang telah disebutkan diatas kesalahan manusia atau human error merupakan yang paling dominan.Kesalahan manusia diketahui sebagai faktor utama penyebab kecelakaan pesawat. Hal itu berdasarkan evaluasi yang dilakukan Asosiasi Psikologi Penerbangan (APP)  kepada lebih dari 300 kecelakaan pesawat. Hasilnya, sekitar 80-90 persen kecelakaan karena human error.
"Terdapat banyak faktor yang menyebabkan kecelakaan pesawat, namun manusia, khususnya kelelahan dari seorang awak pesawat adalah penyebab yang dominan," kata psikolog Asosiasi Psikologi Penerbangan Widura Imam Mustopo dalam diskusi Human Factor in Aviation di Jakarta, Selasa (5/6) lalu.(www.republika.co.id Kamis 22-juli 2012)
Berdasarkan penelitian A. Cassie yang dipublikasikan berjudul 'Aviation Psychology: Studies on Accident Liability, Proficiency Criteria and Personnel Selection', yang menunjukkan hubungan antara kecelakaan pesawat dengan situasi kelelahan seperti jam kerja yang panjang dan istirahat yang kurang memadai.
Kelelahan ini dapat menyebabkan menyempitnya rentang perhatian, hal ini menyebabkan penerbang cenderung untuk memusatkan pandangan pada hal-hal yang membuat dia khawatir dibanding dengan aspek yang sebetulnya lebih penting.
Perawatan dan Usia Pesawat
Masih segar teingat dibenak kita peristiwa keecelakaan pesawat Shukoi Super Jet 100 di gunung salak bogor jawa barat pada awal mei lalu, kejadian naas itu memewaskan sekitar 45 orang penumpangnya, dan beberapa hari lalu peristiwa yang sama kembali terulang kali ini pesawat Fokker 27 milik TNI AU jatuh di permungkiman warga sekitar bandara Halim Perdana Kusuma yang memelan 10 orang korban jiwa, yang terdiri dari masyarakat sipil dan awak pesawat.
Sudah bukan rahasia lagi, pesawat komersial yang dimiliki maskapai penerbangan nasional, sebagian besar adalah pesawat-pesawat berusia tua di atas 20 tahunan. Mereka membeli atau menyewa pesawat-pesawat yang sudah tak digunakan oleh maskapai penerbangan asing karena harganya relatif murah.
Pada tahun lalu standar organisasi penerbangan sipil internasional mengenai ketentuan kelaikan udara (Annex 8)  pemeriksaan terhadap 200-an pesawat yang dioperasikan sekitar 72 maskapai penerbangan nasional, sekitar 50% dari jumlah pesawat itu  dikategorikan tidak layak terbang. Ketidak layakan pesawat di indonesia pada umumnya terdapat pada ketidak layakan pada onderdil  yang digunakan pada mesin serta, usia pesawat yang sudah tua.
mengganti komponen satu pesawat dengan mengambil komponen dari pesawat yang lain, lalu menjadi hal biasa bahkan rutin. Misalnya, jika sebuah pesawat yang hendak terbang mengalami kerusakan pada sebuah komponen, maka komponen itu akan dicopot dari pesawat lain yang kebetulan sedang tidak terbang. Setelah pesawat itu kembali, komponen itu akan dicopot kembali, dan dikembalikan kepada pesawat semula, ini lah yang terjadi pada pesawat Fokke 27  milik TNI AU .
Soal ketentuan usia pesawat yang dianggap layak atau tak layak terbang ini, sampai saat ini memang belum ada ketentuannya. Selama memenuhi sertifikasi kelayakan udara, pesawat jenis apa pun, berusia berapa pun tetap boleh beroperasi.
Yang menjadi masalah ialah, rata-rata pesawat yang dioperasikan oleh maskapai penerbangan domestik, usianya telah berumur sekitar 20 tahun, atau lebih. Usia itu setara dengan 30 ribu hingga 50 ribu kali terbang dan sangat berbahaya bagi keselamatan penerbangan. Maka bisa dibayangkan, berapa puluh ribu kali penerbangan yang sudah ditempuh pesawat Boeing yang disewa atau dimiliki oleh banyak maskapai nasional.
Pada umumnya pesawat yang sudah melampaui 50 ribu kali penerbangan, pesawat tersebut harus menjalani modifikasi khusus dan perawatan setiap dua hingga empat ribu kali penerbangan. Semuanya harus dicek dan tentu membutuhkan biaya yang cukup besar. pengecekan ideal biasanya menggunakan “block system”, yakni perawatan seluruh armada pesawat.
Di negara-negara lain seperti Singapura, Australia dan Malaysia, syarat kelaikan operasi pesawat lebih ketat. Di samping menggunakan Annex 8 mengenai standar kelaikan udara, negara-negara itu juga menerapkan Annex 16 mengenai ambang batas suara dan emisi gas buang yang diperbolehkan. Indonesia hingga saat ini belum memasukkan Annex 16 dalam standar kelaikan udara bagi pesawat yang dioperasikan.
Satu hal penting lain menurut Federasi Pilot Indonesia yang juga sering diabaikan maskapai domestik, yaitu menyangkut jam terbang seorang pilot. Ukuran ideal, seorang pilot dalam sebulan paling banyak terbang selama 110 jam, atau 1.100 jam dalam setahun.
Seharusnya, maskapai penerbangan mengikuti standardisasi penerbangan itu. Karena jika melebihi jam terbang ideal, seorang pilot sebenarnya tidak boleh terbang. Sayangnya banyak sekali manajemen maskapai penerbangan yang tidak terbuka soal ini dan tidak mempunyai standardisasi keselamatan kerja.
Sebagai pengguna jasa penerbangan kita mesti cerdas dalam bertindak, jangan terlalu terpengaruh dengan iming-iming tiket murah, pilihlah maskapai yang sudah mendapat kelayakan uju terbang yang bersertifikat nasional dan internasional, jangan sampai hanya karna ingin terbang dengan harga murah berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan atau sampai menjadi penerbangan terakhir kita.

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum UMSU, dan aktif di Pers Masasiswa TEROPONG   
artikel ini telah di muat di Harian Analisa 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar