Oleh : Sagita
Purnomo
Baru genap sebulan kota medan
mendapatkan piala Adipura sebagai predikat kota Metropolitan 2012. Namun masih
banyak persoalan yang dihadapi kota ini, salah satunya adalah banjir yang kerap
menjadi masalah serius dikota-kota besar berpredikat kota metropolitan.
Seperti yang terjadi pada hari
Rabu (4/7) lalu. Hujan deras di sertai angin kencang mengguyur kota medan
selama 2 jam lebih menyebabkan banjir yang cukup parah hampir diseluruh wilayah
kota medan, salah satunya adalah jalan Kenanga Sari III kecamatan medan selayang,
tempat penulis tinggal bahkan rumah penulis pun tak luput dari genangan air
setinggi mata kaki.
Ada beberapa faktor penyebab
banjir dikota ini antara lain : mulai dari minimnya ruang terbuka hijau (RHT),
hutan gundul, curah hujan sangat tinggi, bangunan di daerah aliran sungai (DAS),
serta buruknya drainase kota.
Minin RTH
Menurut salah satu Analis tata
ruang dan tata kota di Medan, Rafriandi Nasution.Mengatakan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan Tata Wilayah, kota
harus memiliki 30 persen RTH. “Untuk mewujudkan RTH sebesar 30 persen dari luas
Medan itu Cuma mimpi, karena faktanya kita hampir tidak dapat menemukan ruang
terbuka hijau yang ada di Kota Medan,” katanya
Meski memiliki luas wilayah
sebesar 26.510 hektar, namun hutan kota yang ada di seputar kota hanya sekitar
31,2 hektar atau setara 0,12% dari luas wilayah kota. Hal ini merupakan salah
satu pemicu terjadinya banjir bila intensitas hujan sedang tinggi, karena
minimnya RTH yang berfungsi sebaagi daerah resapan air.
Dikatakan Rafriandi, realisasi
RTH 30% dari luas kota Medan merupakan harapan yang sangat kecil, karena
daerah-daerah resapan air yang seharusnya dibangun dengan tipe besar tidak
mampu beroperasi dengan baik, seperti kanal yang bisa dinyatakan tidak
berfungsi. “Sangat kecil lah untuk diwujudkan 30% RTH, terutama melihat kondisi
Kota Medan saat ini yang nyaris sebagai hutan beton. Bila tidak bisa diwujudkan
30% RTH, maka banjir di medan tidak terobati,” .(waspadaonline.com)
Drainase dan Curah Hujan
Drainase kota yang buruk juga
turut memegang andil atas banjir yang kerap terjadi. Persoalanan drainase di
medan. Belum sistematisnya sistem pengaliran drainase yang ada menjadi
penghambat berjalannya konsep drainase. Hal ini disebabkan karena tidak
terencananya perkembangan pemukiman penduduk, yang mengakibatkan berkurangnya
daerah resapan, maupun daerah penampungan air. Pembangunan rumah yang tidak
terkendali inilah diyakini mengancam alur-alur drainase kota, sehingga
terjadinya penyempitan atau penutupan saluran drainase. Boleh dibilang cukup
banyak bangunan di Kota Medan meletakkan pondasi rumah pada saluran drainase.
Hampir seluruh wilayah dikota
ini drainasenya buruk, sepeerti yang terlihat di Jalan DI Panjaitan, Jalan Pengadilan, dan
Jalan Kapten Pattimura. Kondisi drainase ini sebagian tergenang air berwarna
gelap, ditumbuhi rumput liar, dan dipenuhi sampah. Serta Jalan HM Yamin, Jalan
Asia, Jalan Wahidin dan Jalan Thamrin, Jalan Pahlawan,jalan Darusalam, Jalan Ampera,
Jalan Sutomo serta sejumlah ruas jalan lainnya yang kerap menjadi langganan banjir apabila hujan turun.
Keadaan ini perparah dengan
itensitas hujan yang cukup tinggi diwilayah sumut yaitu mencapai 1.500-4.500
milimeter per tahun. Tentu saja dengan
curah hujan yang cukup tinggi ini jika tidak di imbangi dengan drainase yang
baik tentu saja berdampak pada luapan air yang berujung banjir.
Penyempitan DAS
Hampir seluruh daerah aliran
sungai (DAS) Kota Medan sudah diisi bangunan perumahan. Bukan hanya perumahan
kumuh tanpa izin, pun ada bangunan-bangunan megah perumahan dan pertokoan yang
lengkap dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) turut merusak DAS.
Sederhananya, banjir terjadi
karena penampang sungai tidak muat lagi menampung saat air meluap. Bantaran
sungai sudah penuh diisi rumah-rumah. Volume tampung air berkurang sebanyak
volume bangunan. Terjadilah botle neck,
sehingga air mencari titik yang lemah dan meledaklah. Tanggul pun jebol, air
pun melimpah kemana-mana.
Kegiatan penyempitan arus
sungai, banyak pihak yang memanfaatkan garis sepadan sungai untuk mendirikan
bangunan. Sehingga saat ini sulit untuk mencari
batas sungai, karena sudah
tembok. Namun sayangnya tidak ada tindakan tegas dari Pemko Medan, bahkan
terkesan dilindungi, terbukti Pemko Medan tetap saja mengeluarkan izin
mendirikan bangunan, meski bangunan tersebut diketahui melanggar garis sepadan
sungai
Sisi lain penyempitan sungai
juga kian menjadi. Hal ini diperparah dengan pelanggaran penggunaan daerah
resapan sungai. Idealnya sungai besar harus memiliki daerah resapan atau jalur
hijau sejauh 100 meter, sedangkan sungai kecil 50 meter di kedua sisinya.
Selain itu kebiasaan buruk dari
masyarakat seperti membuang sampah sembarangan di sungai dan selokan juga turut
andil dalam menimbulkan banjir, sampah yang dibuang kedalam sungai maupun
selokana akan menghambat aliran air, dan apabila hujuan deras turun akan
mengakibatkan air meluap yang berujung pada banjir. Selain faktor alam manusia
juga berperan besar menyebabkan bencana terutama banjir, oleh sebab itu jaga
dan lestarikanlah lingkungan tempat kita tinggal. Sebab banyaknya bencana yang terjadi pada saat ini tidak luput dari
perbuatan kita manusia sebagai Khalifa
dibumi.***
Penulis
adalah mahasiswa fakultas hukum UMSU
Artikel ini telah dimuat di Harian Analisa
Link : http://www.analisadaily.com/mobile/read/?id=66832
Tidak ada komentar:
Posting Komentar