Tahun 2014 yang dikenal sebagai tahun politik
ini memang begitu terasa panas dan bergairah, tepatnya dimulai sejak bulan
April lalu saat rakyat Indonesia dicekoki dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif
(Pileg) untuk memilih para wakil yang akan duduk di Senayan dan kantor
daerah-daerah selama lima tahun ke depan. Banyak pihak yang bersuka cita
menyambut gembira hasil positif yang diterima, namun tak sedikit pula pihak
yang menangis, meratapi kekalahannya hingga berujung tragis menjadi Caleg gila.
Berdasarkan data resmi Komisi Pemilihan
Umum (KPU) partisipasi masyarakat Indonesia yang menggunakan hak pilihya dalam
Pileg 2014 lalu mencapai 75,11 persen dari tota keseluruhan 150 juta jiwa Daftar
Pemilih Tetap (DPT). Selain itu, kita juga sudah tau sama atau bahwa partai
PDIP merupakan partai pemenang secara de
jure dalam Pileg dengan perolehan suara tertinggi (18,95 persen) di susul
Golkar (14,54 persen) dan Gerindra (11,86 persen). Namun taukah kita bahwa pemenag
sesungguhnya pada Pileg 2014 secara de
facto ialah “Partai” Golput dengan jumlah perolehan suara sebesar 24,89
persen. Ternyata semakin banyak rakyat Indonesia yang melek dan sadar untuk
tidak turut serta dalam pembodohan masal lima tahunan ini.
Semakin
Sadar
Sejenak kita lupakan dulu flasback mengenai Pileg 2014, mari kita
meratapi kembali apa yang akan terjadi pada Pilpres 9 Juli nanti. Pertarungan
antara pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK juga turut serta diiringi dengan
pertarungan dua medaia elektronik terbesar di Indonesia yaitu TV One vs Metro
TV yang menjagokan masing-masing kandidat. Kampanye hitam merupakan hal yang
paling ramai menyerbu kedua belah kubu. Ada saja trending topik untuk mengulik
kelemahan masing-masing kandidat, seperti isu keberpihakan asing dan capres
boneka yang menerpa Jokowi, persoalan ibu negara, pengurus kuda yang baik dan
kasus pelanggaran HAM di kubu Prabowo. Semua itu menjadi bumbu-bumbu penyedap
setiap harinya di wajah televisi kita.
Dengan maraknya kampanye hitam yang
menciderai elektabilitas serta integritas masing-masing kandidat, akan
berpengaruh kepada tingkat partisipasi masyarakat Indonesia dalam menggunakan
hak pilihnya nanti. Diprediksi angka golput akan semakin meningkat pada Pilpres
9 Juli nanti. Rakyat Indonesia setiap harinya disuguhkan dengan
pembodohan-pembodohan, visi-misi janji umbar janji manis serta upaya para
kandidat untuk salaing menjatuhkan lawan politik dengan memamfaatkan media yang
mendukungnya. Sebagian besar masyarakat yang telah sadar akan busuknya geliat
politik negeri, sudah paham betul akan modus seperti ini.
Berdasarkan catatan sejarah Pemilu di
Indonesia, angka golput terus merangkak tinggi. Bayangkan saja, angka golput
pada Pemilu 1999 mencapai 10,21 persen. Pada pileg 2004, angkanya naik menjadi
23,34 persen dan pada pemilu legislatif 2009 naik lagi menjadi 29,01 persen. Ada
sejumlah faktor penyebab tingginya angka golput. Pertama, persoalan
administratif di mana seseorang tidak terdaftar sebagai DPT sehingga ia tidak
dapat menggunakan hak pilihnya. Kedua, alasan teknis, seperti tidak ada waktu dan kesempatan untuk mencoblos karena
pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Serta yang terakir semakin tingginya
tingkat kesadaran masyarakat bahwa Pemilu lebih banyak memberikan dampak
negatif dari pada positif.
Selama Pemilu berlangsung sangat marak
terjadi pelanggaran, kerusuhan, money politik, kecurangan, pelanggaran, serangan
fajar serta perbuatan tidak terpuji lainya. Rasa kekecewaan masyarakat semakin
bertambah terkala calon yang dipilih saat Pemilu, justru menjadi tersangka
korupsi dan terjerat persoalan hukum lainya. Inilah para elit politik yang
dihasilkan dari pasta demokrasi yang menghabiskan dana Rp 24 Triliun lebih. Pemilu
merupakan kegiatan pemborosan uang negara yang bersifat mubazir dan sia-sia
belaka. Bayangkan saja, apabila dana sebesar Rp 24 Triliun digunakan untuk
keperluan lain yang lebih penting dan mendesak, maka akan menghasilkan sesuatu
yang lebih bermamfaat.
Misalkan dana Rp 24 Trilun dapat digunakan
untuk membiayai studi S1 seluruh mahasiswa di Indonesai yang tidak mampu selama
empat tahun (sampai selesai). Atau dengan dana ini dapat membangun sarana
prasarana dan inrastruktur di Papua bisa mendekati megahnya Jakarta. Membangun jalan
tol dari ujung Aceh sampai ujung Lampung. Membangun jembatan penyebrangan di
Selat Sunda dan selat Banten. Dana Rp 24 Triliun juga bisa digunakan untuk
membangun ribuan sekolah layak huni, atau ratusan universitas hingga ke pelosok
daerah. Hal ini pasti justru lebih bermamfaat ketimbang mengalokasikan uang
rakyat hanya untuk memenuhi hasrat dan kepentingan golongan manusia licik,
bagaundal, haus akan kekuasaan yang berkumpul dalam Parpol.
Kembali
Ke Pancasila
Seyogianya dalam memilih pemimpin bangsa
kita dapat mengadopsi dan menerapkan asas yang ada dalam Pancasila yaitu
“Musyawarah untuk mufakat” tertuang dalam sila ke empat yang berbunyi “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.
Pasal ini memiliki makna bahwa bangsa Indonesia dipimpin oleh seorang Hikmat
(Pemimpin) yang bijaksana yang dipilih melalui proses musyawarah dari
perwakilan rakyat, bukanya memilih pemimpin berdasarkan suara terbanyak yang
sangat mungkin terjadi manipulasi maupun kecurangan Memilih pemimpin yang
mencalonkan dirinya dan meminta untuk dipilih, padahal dirinya tidak memenuhi
sebagai kreteria layak pemimpin bangsa.
Dalam Pancasila sangatlah jelas
menyebutkan bahwa pemimpin ditunjuk secara aklamasi melalui proses musyawarah mufakat
panjang. Bukan melalui mekanisme pemilihan secara langsung yang sarat akan
kecurangan serta pembodohan seperti Pemilu ini. Sebagai bentuk perbandingan, Presiden
pertama Indonesia, Soekarno ditunjuk secara aklamasi dalam musyawarah oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Lihatlah hasil dari metode ini,
menghasilkan pemimpin dengan jasa dan sepak terjang, gebrakan yang selalu dikagumi,
dipuja layaknya dewa hingga sekarang.
Bandingkan dengan pemimpin yang dipilih
secara langsung melalui Pemilu yang katanya sebagai perwujutan demokrasi seperti
rezim SBY dkk, maka terpilihlah para manusia cacat mental tak bermoral untuk
memimpin bangsa ini. Secara kualitas mereka belum layak menjadi wakil rakyat
maupun pemimpin, tapi karena memiliki uang banyak, kekuasaan, relasi, serta
senjata dalam bentuk Parpol yang rela mengorbankan kepentingan bangsa demi
kepentingan pribadi, mereka bisa melakukan segalanya.
Partai politik hanya akan merubah
manusia menjadi binatang, ya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Ustad atau
Kiayi bisa berubah menjadi iblis ketika terlibat di dalam Parpol. Parpol
merupakan organisasi/wadah yang menjadi prioritas utama para manusia yang
berkecimpung di dalamnya, bahkan mereka tak segan untuk menyampingkan
kepentingan bangsa dan negara atas nama Parpol. Oleh karena itu, jika sistem
yang kita adopsi masih salah seperti ini, jangan harap akan muncul sosok pemimpin
yang mampu membawa bangsa Indonesia keluar dari lembah kenistaan.
Sistem Pemilu, Parpol hanya akan mengubah
manusia menjadi binatang yang selalu berebut kuasa. Apabila kiata bangsa
Indonesia menginginkan perubahan positf untuk menjadi bangsa yang lebih baik,
mari kita amandeman UUD 1945 terutama Pasal 2, 6A, 22E untuk menghapuskan
sistem Pemilu dan Parpol serta kembali kepada ideologi negara kita yaitu
Pancasila dengan prinsip musyawarah mufakat yang sudah teruji dapat
menghasilkan pemimpin berkualitas layak memimpin negeri. Selama Parpol dan
Pemilu masih ada di republik ini, jangan pernah berharap akan kehidupan bangsa
yang lebih baik, kecuali dalam mimpi.***
Penulis adalah
mahasiswa tingkat akhir fakultas Hukum UMSU